Jangan mau jadi pengecut! Hidup harus berarti. Ada yang berubah, Ada yang bertahan. Karena zaman tak bisa dilawan. Yang pasti, kepercayaan harus diperjuangkan! (Chairil Anwar)   »  

Reformasi Aparatur Negara untuk melaksanakan Pemerintahan Demokratis dan Ekonomi Global

Profesor Gerald Caiden, salah seorang pelopor studi Reformasi Administrasi dalam buku “Administrative Reform Comes of Age” terbitan tahun 1991, mengungkapkan ironi yang terjadi di banyak negara, negara maju mau pun Negara berkembang, bahwa “... reformasi sistem administrasi tidak pernah mencapai inti permasalahan tetapi hanya formalitas semata. Reformasi tersebut tidak cukup luas dan mendalam. Bahkan cukup banyak negara yang tidak memberikan perhatian yang cukup memadai pada reformasi administrasi...” Barulah setelah terlambat dan kondisi negara sudah amat buruk pemerintah menyadari perlunya reformasi administrasi.Karena itu Prof Caiden mengingatkan “By the time it was realized that defective administrative system were a serious obstacle to progress, that what was wrong with them was fundamental, and hihger priority should be to putting them right, the prevailing gales were fast blowing into huricanes.”

Mungkin Indonesia adalah salah satu negara yang tidak memberikan perhatian besar pada reformasi administrasi. Walau pun jabatan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara selalu ada dalam Pemerintahan Orde Baru, Pemerintahan Reformasi, Pemerintahan Gotong Royong dan terakhir dalam Pemerintahan Indonesia Bersatu, tetapi kedalaman dan keluasan reformasi aparatur negara belum menyentuh bagian-bagian yang paling mendasar dalam sistem administrasi.

Reformasi aparatur negara yang diperlukan untuk menciptakan sistem administrasi yang berkemampuan untuk melaksanakan pemerintahan demokratis dan globalisasi perdagangan tidak bisa tidak harus bersifat komprehensif dan mencakup, antara lain, penetapan peraturan dasar tentang sistem pemerintahan negara yang sesuai dengan kemajuan bangsa Indonesia, peningkatan kemampuan birokrasi pemerintah khususnya peningkatan birokrasi pemerintahan khususnya sistem kepegawaian, desentralisasi pemerintahan dan upaya pembera-ntasan korupsi. Dalam waktu yang singkat ini tidak mungkin seaya menyentuh semua dimensi reformasi aparatur negara tersebut. Presentasi saya ini akan lebih menfokuskan diri pada reformasi birokrasi, dan secara lebih khusus reformasi sistem kepegawaian

Peraturan dasar tentang pemerintahan Negara
Kemerosotan kinerja pemerintahan sebenarnya mulai terasa pada Pemerintahan Rekonsiliasi Nasional di bawah pimpinan Presiden Abdurahman Wachid3. Gaya kepemimpinan Gus Dur yang kurang sabaran karena kebiasaan mengadakan perubahan-perubahan secara erratic dan tidak terencana, seperti mengadakan 5 jabatan Sekretaris yang setingkat pada Sekretariat Negara, resuffle Kabinet yang dilakukan beberapa kali, dan intervensi Presiden dalam penunjukan jabatan teras pada birokrasi pusat dan daerah daerah, adalah faktor utama yang mendorong terjadinya kondisi entrofi tersebut. Pada pemerintahan Kabinet Gotong Royong yang terdiri dari para menteri dari kalangan profesional yang memepunyai reputasi tinggi dibawah pimpinan Presiden Megawati, entrofi pemerintahan mulai menghilang karena kepercayaan rakyat mulai menguat kembali.

Sayangnya, pada pemerintahan KIB kinerja pemerintah muncul kembali karena didorong oleh dua faktor penyebab: Pertama, rendahnya kepercayaan masyarakat pada kemampuan para pembantu Presiden. Kedua, yang justru merupakan faktor penyebab utama, adalah karena UUD hasil amandemen nampaknya kurang memberikan landasan konstitusional untuk sistem pemerintahan yang memiliki kapasitas tinggi, yaitu suatu pemerintahan negara yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut serta melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi serta keadilan sosial.

Sudah cukup banyak penilaian terhadap kinerja KIB yang dilakukan oleh berbagai media cetak dan elektronik, serta para pengamat pada berbagai fora, dan saya rasa penilaian tersebut sudah cukup untuk memberi gambara tentang pandangan masyarakat tentang kondisi pemerintahan pada saat ini.

Faktor kedua yang sebenarnya merupakan akar permasalahan atas rendahnya kinerja pemerintah adalah amandemen UUD hasil amandemen sebanyak 4 kali selama kurun waktu 1999 sampai 2004, yang menciptakan pemerintahan parlementer semu. UUD hasil amandemen telah merubah secara mendasar sistem pemerintahan negara menjadi sistem presidensial, padahal oleh para founding fathers sistem tersebut dipandang kurang “adekuat” sebagai sistem pemerintahan Negara Bangsa yang berlandaskan faham Kekeluargaan5 untuk menciptakan keadilan sosial.

Kalau kita ikuti pembahasan pada sidang-sidang BPUPK pada pertengahan Juli sampai 15 Agustus, 1945 waktu menyusun sistem pemerintahan untuk negara Republik Indonesia, dan pembahasan pada sidang-sidang PPKI pada 18 – 20 Agustus 1945, sebagaimana terekam dalam notulen otentik yang hampir selama 56 tahun “hilang”, dapat disimpulkan bahwa sistem pemerintahan untuk Negara Bangsa Republik Indonesia adalah yang oleh Dr. Soekiman, anggota BPUPK yang mewakili Yogyakarta, disebut “sistem sendiri”. Dalam literatur ilmu politik sistem pemerintahan tersebut ditahbiskan pertama kali oleh ilmuwan politik Prancis, Maurice Duverger, sebagai sistem pemerintahan semi presidensial.

Sistem pemerintahan tersebut dipilih karena dipandang akan mampu mengatasi kelemahan-kelemahan sistem parlementer yang dipandang tidak mengenal pemisahan antara kekuasaan eksekutif dan legislatif, karena yang memegang portofolio penting dalam eksekutif adalah anggota legislatif, sehingga tidak menjamin tumbuhnya check-and-balance yang merupakan persyarakat penting dalam penyelenggaraan pemerintahan yang baik. Para penyusun konstitusi tidak memilih sistem presidensial karena memperkirakan pada sistem tersebut terbuka lebar peluang terjadinya “political gridlocks” apabila presiden terpilih berasal dari partai minoritas sedangkan berkuasa di lembaga legislatif adalah partai mayoritas.

Hubungan yang kurang serasi antara eksekutif dan legislatif pada tahun pertama pemerintahan KIB memang merupakan salah satu contoh fenomena kemacetan politik yang dikhawatirkan oleh para pendahulu kita. Political gridlock itulah yang kita alami sejak KIB terbentuk karena dalam sistem parlementer semu Presiden bukan saja menghadapi kendala dari DPR, tetapi juga karena para menteri dalam kabinetnya lebih loyal kepada politik partai masing-masing. etc

Tulisan ini diambil dari http://sofian.staff.ugm.ac.id/ yakni dalam rangka memenuhi tugas kuliah AOLI yang diampu oleh Bapak Indra Hiswara. Source lebih lengkap klik link berikut ini: klik

[+/-] Go check it out...

Devastation in Haiti: Pictures from the Earthquake



Devastation in Haiti: Pictures from the Earthquake




[+/-] Go check it out...

Mengenang Teman

Awal Desember selalu mengingatkan saya pada seorang sahabat yang sudah tenang di sisi Tuhan.

Mbak Yani, sahabat saya yang mendapat julukan ODHA (Orang dengan HIV/AIDS). Orangnya ramah, supel, rapi dan satu hal yang paling saya suka dari Mbak Yani adalah kemampuannnya "ngemong" anak-anak di komunitas Kali Code Jogoyudan. Profesinya sederhana, menjadi mediator antara LSM yang menangani ODHA dengan dokter-dokter di beberapa rumah sakit yang mau menerima ODHA. Mbak Yani sendiri termasuk orang yang positif terkena HIV-AIDS.

Mbak Yani tinggal di Jogoyudan, salah satu kampung binaan almarhum Romo Mangun yang terletak di bantaran kali Code Yogyakarta. Di sana ia menyewa kamar ukuran tiga kali tiga meter. Ukuran kamar yang bagi kebanyakan orang tak lebih dari kandang ayam, namun baginya adalah sebuah istana. "Tempat tinggal bukanlah masalah bagiku, nang. Jauh lebih penting adalah luasnya hati orang-orang di kampung ini untuk mau menerimaku", kalimat yang selalu saya ingat sampai saat ini.

Sampai saat ini pemerintah memang telah memberikan pelayanan kesehatan untuk ODHA. Namun jauh lebih penting adalah kesadaran berpikir dan bersikap ramah untuk menerima ODHA sebagai bagian dari masyarakat. Saya sendiri kurang sepakat dengan penggunaan istilah ODHA untuk "mempermudah" penyebutan orang yang menderita HIV/AIDS, karena dengan menggunakan istilah ODHA, berarti kita juga ikut memberikan "cap" terhadap seseorang.

Cap negatif terhadap ODHA jelas sangat merugikan upaya-upaya penanggulangan penyakit ini. Apalagi cap ini mengerucut pada profesi-profesi seperti perempuan pekerja seksual, waria dan anak jalanan.

Saya berdoa disini, untuk Mbak Yani dan seluruh teman-teman di luar sana yang mendapat cap ODHA, "YOU'RE NEVER ALONE".

[+/-] Go check it out...

Hidup Bersama Tuntutan

Untuk orang seperti simbah saya yang hidup di kampung, uang senilai seratus ribu atau sejuta tentu merupakan nilai yang cukup luar biasa. Dengan uang sejuta misalnya, simbah bisa membeli beras untuk disimpan selama beberapa bulan. Simbah juga bisa "menggadoh" kambing tetangga sebagai investasi tahunan. Bahkan dengan yang sejuta ia juga bisa menyisihkan beberapa lembar ribuan untuk cucunya yang "tercecer" di kampung A, B dan C. Tapi untuk orang yang hidup di kota, dengan semua tuntutan modern di sekitarnya, nilai sejuta adalah kecil. Sejuta bisa jadi akan habis dalam sekali "tenggak". Cukup melangkah ke diskotik, shopping dan tentu, gadget forevah.

Di kota, nilai dan kualitas sebuah gadget berarti menentukan strata dan pengakuan dari kelompok sekitar. Jika saya memiliki handphone nokia merk N-Gage, sedangkan teman saya memiliki hp nokia merk E72, maka konotasi yang terbentuk adalah "nanang cupet duite", karena saya hanya memiliki gadget murahan. Sedangkan teman saya yang memiliki E72 tersebut akan mendapatkan pengakuan bahwa ia punya kelebihan kocek sehingga mampu membeli gadget bernilai jutaan rupiah.

Hidup di kota adalah hidup dengan bersama tuntutan. Tuntutan untuk tetap bisa berkarir, makan, minum, gaul, sampai bergaya. Orang tak lagi berpikir tentang esensi hidup, "urip mung mampir ngombe".

Kadang saya jadi berpikir, menarik dan benar juga hidup menjadi seorang biksu. (november2909)

[+/-] Go check it out...

Doa untuk simbah


Beberapa waktu yang lalu saya sempat mendapat tugas dinas ke Jogja. Benar-benar rezeki di luar nalar, karena kebetulan mbak kakung dan mbah putri sedang kena musibah. Saya benar-benar nggak tega mengabadikan momen tersebut. Sambil berdoa, saya beranikan memotret kedua simbah saya, namun dari sudut yang berbeda.

[+/-] Go check it out...