Setelah melihat audisi kabinet jilid II, saya mencoba membuat sedikit analisa ala blogger. Analisa ngawur hasil dari mantengin koran dan tipi selama beberapa minggu.
Oiya, biarkan saja SBY berhasil "menghipnotis" masyarakat dengan program audisi "idol" menterinya. Program politik yang sangat luar biasa, salut!
Saya mulai dari Nila Moeloek. Perempuan yang satu ini sebenarnya sempat akan "mampir" di kabinet SBY sejak tahun 2004. Namun karena masih ada beberapa titik kelemahan yang dimilikinya, maka SBY enggan mendapuk Nila menjadi Menkes waktu itu.
Menurut saya, untuk menggondol gelar sarjana dan doktor di UI bukanlah hal yang mudah. Jadi, jika ada opini yang menyatakan bahwa seorang Nila Moeloek kurang tahan terhadap tekanan, menurut saya hal tersebut kuranglah wajar. Jika memang tidak berniat menjadikan Nila sebagai Menkes, seharusnya kegagalan Nila pada 2004 seharusnya dijadikan pertimbangan. Sehingga polemik bahwa Menkes yang baru merupakan titipan asing bisa dihindari.
Kedua, di posisi Menko Perekonomian, si jago lobi, Hatta Rajasa. Si rambut putih Gandalf ini pada awalnya merupakan pegiat bisnis di beberapa perusahaan nasional yang kemudian merangkak ke kursi legislatif melalui Partai Reformasi.
Awal sepak terjangnya adalah menjadi Menteri Negara Riset dan Teknologi (2001-2004). Ketika 2004 SBY berkuasa, dirinya didapuk menjadi Menteri Perhubungan. Masa jabatannya sebagai Menteri Perhubungan ditandai dengan beberapa kecelakaan transportasi yang menonjol, di antaranya musibah Mandala Airlines Penerbangan 91, Kecelakaan KM Digoel, Musibah KM Senopati Nusantara, Adam Air Penerbangan 574, dan Garuda Indonesia Penerbangan 200.
Jika saya coba dengan nalar, Hatta sudah tiga kali menjadi menteri. menjadi Menteri Negara Riset dan Teknologi, Menteri Perhubungan dan sekarang Menko Perekonomian. Masing-masing tentunya memiliki subjek keilmuan yang berbeda. Pertanyaannya, apakah dari 200 juta penduduk di negeri ini tidak ada satupun seorang profesional yang pantas duduk di kementerian bidang perekonomian. Apakah SBY memang benar-benar miskin relasi sehingga posisi menteri ini lebih pantas diemban oleh Hatta. Atau apakah ini merupakan "upah" dari SBY untuk Hatta karena PAN akhirnya "bersedia" berkoalisi dengan Demokrat?
Ketiga, Tifatul Sembiring. Pak ustadz ini merupakan jendral PKS dan sebelumnya sudah terpilih menjadi Ketua Komisi I DPR RI namun akhirnya berlabuh menjadi Menteri Komunikasi dan Informasi menggantikan M. Nuh yang putar haluan menjadi Mendiknas.
Pertanyaannya, apa prestasi terbaik seorang Tifatul di bidang komunikasi dan informasi? apakah karena dia seorang yang alim sehingga berhak menjadi "polisi" porno-pornoan untuk rapidhsare seperti M. Nuh dulu? atau apakah lagi-lagi karena ini jatah partai belaka, jatah untuk PKS?
Keempat, Muhaimin Iskandar. Si oportunis yang akhirnya berhasil menggondol kursi Menteri Transmigrasi dan Tenaga Kerja.
Sejak awal sepak terjangya di kancah politik, jujur, saya tidak tertarik dengan Cak Imin ini. Seseorang yang menurut saya sangat ambisius dan oportunis. Ambil contoh saja ketika terjadi polemik di PKB, tentu kita bisa menilai seperti apa Cak Imin ini. Mendingan Lola Amaria yang getol berjuang untuk TKI atau Damairia Pakpahan yang cukup mumpuni sebagai aktivis perempuan.
Capek nulis, besok lagi saya sambung yak!
0 comments:
Post a Comment